Secerca Keikhlasan
Hati
Saat
persahabatan benar-benar sedang diuji, disinilah keegoisan mungkin akan
berperan sangat dominan. Dan perasaan mulai bersandiwara, mengelabuhi diri
sendiri.
Aku masih
terisak tak percaya saat ku buka pesan singkat dari Amira, sahabatku sejak
kecil.
Dalam derai
air mata, aku mencoba perlahan menyusun kembali hati yang tiba-tiba hancur. Dan
mencoba menguatkan diri yang sebenarnya sudah runtuh.
“Nada,
maafin aku. Aku nggak bermaksud menghianatimu dengan menerima lamaran dari Mas
Andi. Sungguh aku bingung dengan posisiku saat ini. Maafkan aku yang nggak bisa
jadi sahabat terbaik buat kamu.” Begitulah bunyi pesan singkat dari Amira.
Air mata
semakin bercucuran. Dengan jemari yang gemetaran ku balas pesan singkat
sahabatku yang sebelumnya senantiasa mendengar keluh kesahku, termasuk
mendengar curahan hatiku tentang Mas Andi. Sesosok pemuda yang selalu
kuidam-idamkan menjadi pendamping hidupku.
“Iya, tak
apa. Lagian aku nggak punya hak buat ngelarang Mas Andi untuk suka sama siapa saja,
termasuk suka sama kamu. Hak setiap orang untuk mencintai. Do’akan saja aku
lekas mendapatkan pangeran yang lebih baik dari Mas Andi. Kapan rencana
nikahnya? Jangan lupa kabarin aku ya. Hehe.”
Aku sengaja
mengakhiri pesanku dengan ketawa, sekedar untuk meyakinkan pada Amira bahwa aku
baik-baik saja. Tapi aku tak bisa meyakinkan diriku sendiri.
Semenit
setelah pesan ku kirim, ponselku berdering. Panggilan dari Amira. Sebelum
kuangkat teleponnya, kusiapkan hati, ku hapus air mata di pipi, dan bersiap
untuk bersandiwara.
“Assalamu’alaikum.”
Salamku dengan penuh kesakitan yang tak kuungkap.
“Nada, aku
minta maaf. Aku telah menghianati sahabat sebaik dirimu. Tetaplah menjadi
sahabat untukku Nada. Apa yang harus kulakukan untuk menebus kesalahanku?”
begitulah kata-kata yang terucap dari Amira disela-sela isakan tangisnya.
“Iya
Amiraku sayang, aku baik-baik aja kok. Jangan nangis, kalau kamu masih merasa
bersalah, justru semakin membuatku ikut merasa bersalah juga. Berbahagialah
dengan Mas Andi. Aku yakin ini yang terbaik untuk kita semua. Biarkan ku hapus
rasaku pada Mas Andi.” Aku jawab isakan tangisnya dengan nada datar seolah-olah
tak terjadi apa-apa. Entah aku mendapat kekuatan darimana. Tiba-tiba didepan
Amira, aku kehabisan air mata. Sungguh Allah Maha Perkasa. Allah yang
memperkasakan hatiku saat itu.
***
“Nada,
terimakasih ya. Karena kamu aku jadi kenal Amira, calon istriku. Kamu setuju
kan aku nikah sama Amira?” suara kebahagian Mas Andi terdengar merdu dalam
ponselku.
“Iya Mas, aku
setuju kok. Amira baik, sholehah. Cocok buat Mas Andi yang sholeh.” Dengan nada
kebahagiaan aku menyembunyikan nada keputusasaan.
“Semoga
kamu cepet nyusul aku sama Amira ya Nad. Aku do’ain deh kamu cepet dapet jodoh
yang terbaik dari Allah. Semoga kebahagiaan selalu terlimpah padamu, Nad.” Do’a
yang terlontar dari Mas Andi begitu tulus.
“Terimakasih
Mas, aamiin. Semoga diijabahi oleh Allah. Mas Andi sama Amira yang langgeng ya.
Semoga menjadi keluarga yang sakinah, mawadah, dan warrahmah. Jangan kecewain
Amira ya Mas. Kalo berani ngecewain Amira, aku yang bakal ngamukin Mas Andi.
Haahaha.” Semoga ketawa lepasku bisa sedikit menyembuhkan luka dihatiku.
“Okee
Nadakuu sayaaaaang. Haahaha.” Seloroh Mas Andi yang sebelumnya selalu membuatku
tertawa terbahak-bahak, kini terasa menyakitkan untuk didengar.
***
Begitulah
sosok Mas Andi. Dia begitu akrab denganku, baik, sholeh, selalu memberiku
nasihat disaat aku dalam masalah, pribadi yang selalu ‘ngemong’, dan karena
itulah aku memendam rasa pada Mas Andi. Aku menyukainya sejak awal aku
mengenalnya sebagai kakak tingkat di Perguruan Tinggi. Namun tak pernah
kuungkapkan pada Mas Andi.
Dan kini bunga
yang sejak 4 tahun silam tumbuh subur ditaman hatiku. Yang kuharap suatu saat
akan bersemi, ternyata bersemi dihati orang lain. Dan harus ku babat habis
taman bungaku yang sedari dulu ku rawat dan ku sembunyikan. Hanya Allah dan
Amira yang tak pernah jemu mendengar celoteh kegagumanku pada Mas Andi. Mungkin
sekarang giliran aku yang mendengarkan celotehan Amira tentang Mas Andi.
Dan dalam
prosesku untuk belajar mengikhlaskan cinta yang masih menaungi hati ini. Selalu
muncul sejumpuk kalimat, ‘Aku tak habis pikir.’ Tapi kurasa itu hanyalah
bisikan keegoisanku yang terkadang belum bisa menerima keadaan dengan
seutuhnya. Semoga ikhlasku mampu mengkokohkan hatiku dan mengkuatkan jiwaku.
Semoga Sang Pembolak-balikan hati manusia lekas menghapuskan rasaku pada Mas
Andi.
0 komentar:
Posting Komentar