Buscar

OPINI : Belajar tentang Kehidupan dari Menjadi Guru (Part 1)

Belajar tentang Kehidupan dari Menjadi Guru (Part 1)

Dahulu di tahun 90-an, masih banyak anak-anak bercita-cita ingin menjadi guru, begitu juga dengan saya. Guru adalah cita-cita anak-anak pada umumnya karena sejak kecil profesi yang dekat dengan seorang anak adalah guru. Entah untuk generasi 4.0 ini sepertinya cita-cita seorang anak sudah cukup bervariasi. Mulai dari ingin menjadi gamers hingga yotouber. Kini cita-cita menjadi guru mulai di pandang rendah bagi beberapa individu yang hanya melihat dari penghasilan seorang guru honorrer yang tak sebanyak karyawan swasta dengan pendidikan terakhir SMA/K. Sangat ironis tapi memang seperti itulah fenomenanya. Hingga akhirnya saya yakin bahwa menjadi guru bukan hanya sebuah profesi tapi sebuah panggilan jiwa.

Ada banyak macam profesi guru dan saya memilih untuk menjadi guru BK (Bimbingan dan Konseling). Apa yang sekilas terbayangkan ketika mendengar guru BK? Apakah galak? Polisi sekolah? Atau pekerjaan yang terlihat sepele dan lebih ringan dari guru mapel karena kebanyakan kerjanya hanya duduk di ruangan BK? Bukan bermaksud membandingkan, tapi begitulah yang sering saya dengar dari pendapat orang lain tentang pekerjaan saya yang di pandang lebih mudah daripada profesi guru lainnya.


Terlepas dari pendangan orang lain tentang pekerjaan ini, saya begitu menyukainya. Ada diantara anak-anak dengan beragam permasalahan yang mereka hadapi membuat saya banyak belajar. Diantara anak-anak yang senang memberontak di sekolah ada sesosok manusia yang merindukan perhatian orang tuanya. Entah karena orang tua yang terlalu sibuk bekerja atau orang tua yang bercerai dan memutuskan untuk kembali menjalin hubungan rumah tangga dengan orang baru Benar memang, menjadi orang tua bukan hal yang mudah.

Terkadang menghadapi anak-anak ini pun saya bingung. Ketika ingin marah, saya ingat bahwa mereka adalah anak-anak yang dengan susah payah di besarkan oleh orang tuanya. Ada yang begitu di sayang hingga air panas untuk mandi pun sudah di tuangkan, bekal nasi sudah di masukan di tas sekolahnya. Atau sebaliknya, anak-anak yang ketika di rumah tidak pernah makan bersama orang tuanya. Pulang larut malam bahkan tidak pulang sekalipun tak di cari oleh orang tuanya. Hingga akhirnya bagaimana pun permasalahan yang anak-anak buat tak pernah bisa benar-benar membuat saya marah. Tak ada gunanya karena marah tak benar-benar membantu anak untuk menyelesaikan masalahnya. Semoga hati ini senantiasa sabar menghadapi anak-anak manusia ini.

Tipe Istri Idaman Kamu yang Seperti Apa?



Jika yang kau cari adalah perempuan layaknya koki pribadi dengan kemampuan memasak sejago koki restoran bintang 5, mohon maaf jelas itu bukan aku. Tapi jika yang kau cari adalah perempuan yang bersedia belajar memasak, insyaAllah akan ku usahakan. Meskipun untuk saat ini kau hanya akan menemukan aku yang baru bisa memasakkanmu sayur tumis, sop, gorengan dan sambal bawang.


Jika yang kau cari adalah perempuan dengan riasan make up yang menawan, mohon maaf aku mundur. Tapi jika yang kau cari adalah perempuan yang akan tampil cantik bawaan lahir dan sederhana di depanmu, aku akan maju walau hanya bersenjata pensil alis dan lipstik.


Jika yang kau cari adalah perempuan sosialita dengan barang-barang branded dan keren atau gamis-gamis mahal dan jilbab besar. Mohon maaf aku belum mampu. Tapi jika yang kau cari adalah perempuan sederhana dengan pakaian sopan dan semampunya, jelas itu aku dengan pakaian-pakaian yang entah sudah berapa lama ku beli dan masih awet meski warnanya mulai sedikit memudar.


Jika yang kau cari adalah perempuan kuat, tegar dan anti menangis. Mohon maaf aku tak sekuat itu. Tapi jika yang kau cari perempuan berhati lembut, mungkin bisa jadi itu aku dengan air mata yang menetes ketika menonton reality show yang menyedihkan.


Lalu, apakah aku yang sedang kau cari?

Sekilas tentang P A C A R-an



Ini adalah cerita nyata yang saya peroleh ketika melaksanakan Praktik Pengalaman Lapangan atau praktik mengajar di sekolah. Jadi pada suatu waktu ketika saya sedang melaksanakan praktik konseling kelompok dengan anak kelas VIII, muncul pertanyaan lugu dari salah satu anggota kelompok. Begini kira-kira pertanyaannya, “Menurut Bu Hani, usia yang ideal buat pacaran itu sebenernya kapan?”. Cukup lugu bukan pertanyaan tersebut? Tapi sungguh, membuat saya bergeming sejenak.  Susah menjelaskan jawabannya kepada anak remaja masa kini. Karena jawaban untuk  pertanyaan tersebut sangatlah subyektif. Sehingga saya jawab, “Kalau menurut Bu Hani, nggak ada. Karena Bu Hani ga terlalu setuju dengan pacaran.” Kemudian salah satu anggota kelompok lainnya menimpali pernyataan saya, “Pacarannya setelah menikah ya Bu?”. Yap, jawaban inilah yang saya tunggu-tunggu. Disinilah saya berpikir, dari anak-anak saya bukan hanya belajar untuk menjadi guru BK. Tetapi saya belajar banyak hal yang tak terduga seperti ini.

Pada suatu kesempatan lain ketika pembahasan pacaran menjadi pilihan topik dalam bimbingan kelompok yang saya laksanakan dengan kelas 8, saya tidak secara tegas melarang mereka untuk berpacaran. Karena itu bukan hak saya. Saya hanya mengingatkan kepada mereka bahwa berinteraksi dengan lawan jenis itu ada batasannya, begitu pula dengan pacaran. Disini saya jelaskan bagaimana dampak terburuk dari pacaran. Mereka juga memahami tentang zina, bukan muhrim, dan segala ajaran dalam agama. Saya meyakinkan diri saya sendiri dan mereka, bahwa saya percaya jika setiap anak sebenarnya baik dan tau mana yang benar dan salah. Begitupun perihal pacaran.

Bukan hal yang salah ketika anak seusia mereka, pacaran atau percintaan menjadi topik yang menyenangkan bagi mereka untuk di bahas. Mereka sedang berada pada masanya. Tugas perkembangan mereka memang mengenal lawan jenis. Disinilah PR bagi para orang tua dan guru untuk memberikan arahan yang tepat bagi mereka. Karena pergaulan remaja masa kini cukup memprihatinkan.